cybermap.co.id – Di tengah geliat de-dolarisasi global—di mana negara-negara mulai beralih dari penggunaan dolar AS dalam perdagangan dan cadangan devisa—posisi “King Dollar” mulai goyah. China dan Rusia, misalnya, sudah menggandeng yuan dan rubel untuk transaksi lintas batas. Bahkan negara-negara Timur Tengah pun mulai melirik mata uang lain untuk ekspor minyaknya.
Namun, berbeda dengan tren global itu, Indonesia justru masih menunjukkan ketergantungan kuat pada dolar AS. Nilai tukar rupiah masih melemah saat dolar menguat, transaksi internasional masih didominasi greenback, dan cadangan devisa Bank Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk dolar.
Kenapa Indonesia masih ‘setia’ pada dolar?
- Struktur Ekonomi yang Bergantung pada Impor dan Utang Valas:
Banyak perusahaan Indonesia, termasuk BUMN, masih memiliki utang luar negeri dalam bentuk dolar. Akibatnya, permintaan terhadap dolar tetap tinggi, terutama saat jatuh tempo pembayaran utang. - Cadangan Devisa dan Stabilitas Ekonomi:
Bank Indonesia masih memanfaatkan dolar AS sebagai alat utama stabilisasi moneter. Dolar dianggap lebih stabil dan likuid dibanding alternatif seperti yuan atau euro. - Minimnya Kesepakatan Bilateral Non-Dolar:
Meski sudah ada kerja sama dengan beberapa negara untuk menggunakan mata uang lokal (local currency settlement), volume transaksinya masih kecil dan belum signifikan secara makro.
Ada Harapan untuk Berubah?
Pemerintah Indonesia sebenarnya tak tinggal diam. Program dedolarisasi secara perlahan sedang didorong, terutama lewat peningkatan kerja sama dengan negara mitra seperti China, Jepang, dan ASEAN. Namun, perubahan ini butuh waktu, komitmen, dan perubahan sistem yang tidak mudah.
Kesimpulan:
Dolar mungkin tak lagi sepenuhnya ‘raja dunia’, tapi di Indonesia, singgasananya masih kokoh. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia bisa menyeimbangkan kebutuhan stabilitas ekonomi jangka pendek dengan visi kemandirian ekonomi jangka panjang—tanpa terus bergantung pada satu mata uang saja.