Sejak kampanye pilpres, Prabowo Subianto menggembar-gemborkan rencana ambisius untuk memperkuat ekonomi Indonesia. Ia menargetkan pertumbuhan tinggi, pemerataan kesejahteraan, serta efisiensi penggunaan anggaran negara. Namun, seiring waktu berjalan, sejumlah kebijakan yang telah dan akan diimplementasikan justru memunculkan kekhawatiran. Banyak pengamat menilai bahwa pengelolaan fiskal di bawah kepemimpinan Prabowo mulai menunjukkan gejala ketidakteraturan yang serius.
Efisiensi atau Sekadar Pemotongan?
Salah satu program utama Prabowo adalah efisiensi anggaran negara. Pemerintah berencana menghemat hingga Rp 306 triliun per tahun dengan memangkas belanja non-prioritas. Meski terdengar menjanjikan, kenyataannya, pemangkasan anggaran ini turut menyasar dana transfer ke daerah.
Akibatnya, daerah-daerah yang belum mandiri secara fiskal akan mengalami kesulitan dalam menjalankan program pelayanan publik. Banyak kepala daerah menyuarakan kekhawatiran mereka karena potensi stagnasi pembangunan yang diakibatkan oleh minimnya anggaran operasional dan infrastruktur.
Utang Menggunung, Risiko Mengintai
Selain pemangkasan, kekhawatiran lain datang dari meningkatnya utang negara. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan akan menembus angka 40% pada 2025. Jumlah ini hampir mendekati kondisi darurat saat pandemi COVID-19.
Bahkan, menurut laporan sejumlah lembaga keuangan, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia—yaitu rasio kewajiban pembayaran utang terhadap penerimaan negara—berada di ambang batas aman, yaitu sekitar 45%. Bila tren ini terus berlanjut, ruang fiskal pemerintah akan semakin sempit dan manuver ekonomi pun menjadi terbatas.
Sentralisasi Fiskal: Efektif atau Mengkhawatirkan?
Kebijakan lain yang menuai kritik adalah langkah Prabowo yang ingin menempatkan Kementerian Keuangan langsung di bawah presiden. Meskipun alasan utamanya untuk mempercepat pengambilan keputusan, langkah ini dinilai mengancam independensi kebijakan fiskal dan berisiko tinggi terhadap intervensi politik.
Ketika pengelolaan anggaran tidak lagi transparan dan berbasis data, maka akuntabilitas menjadi taruhannya. Ini tentu bertentangan dengan prinsip good governance yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pengelolaan keuangan negara.
Kesimpulan: Mampukah Prabowo Menjaga Keseimbangan?
Pemerintahan Prabowo berada dalam sorotan tajam. Di satu sisi, ambisi besar untuk membangun ekonomi Indonesia terlihat nyata. Namun di sisi lain, manajemen fiskal yang terlihat berantakan bisa menjadi bom waktu jika tidak segera diperbaiki.
Pengelolaan anggaran yang bijak, terbuka, dan berorientasi jangka panjang adalah kunci utama untuk memastikan bahwa visi ekonomi Prabowo tidak hanya sekadar slogan politik, tetapi benar-benar membawa manfaat nyata bagi rakyat Indonesia.