cybermap.co.id – Suasana haru dan kemarahan menyelimuti sidang perdana Pengadilan Militer atas terdakwa Jumran, oknum anggota TNI yang didakwa melakukan pembunuhan sadis terhadap Juwita (23), seorang mahasiswi asal Makassar. Keluarga korban, dengan linangan air mata dan suara gemetar, mendesak agar pelaku dijatuhi hukuman mati sebagai bentuk keadilan atas nyawa anak mereka yang direnggut secara tragis.

Kronologi Kejadian

Tragedi ini bermula dari hubungan dekat antara Juwita dan Jumran yang diketahui menjalin komunikasi intens selama beberapa bulan. Namun, alih-alih berakhir bahagia, pertemuan terakhir mereka justru menjadi awal dari peristiwa berdarah yang mengejutkan masyarakat. Berdasarkan hasil penyidikan, Jumran diketahui menghabisi nyawa Juwita dengan cara yang keji, lalu berusaha menghilangkan barang bukti untuk mengaburkan jejak kejahatannya.

Kejadian ini menyita perhatian publik setelah tubuh Juwita ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah rumah kontrakan. Fakta bahwa pelaku adalah aparat militer aktif menambah kerumitan kasus ini sekaligus memunculkan tuntutan keadilan yang lebih keras dari masyarakat.

Tuntutan Keluarga dan Masyarakat

Dalam sidang yang digelar tertutup di Pengadilan Militer, keluarga Juwita datang membawa spanduk dan poster bertuliskan “Hukuman Mati untuk Pembunuh Juwita” dan “Keadilan untuk Perempuan Indonesia”. Mereka tak hanya menuntut keadilan, tetapi juga ingin memastikan bahwa tidak ada lagi korban lain yang jatuh akibat penyalahgunaan kekuasaan.

Ayah korban, Pak Rustam, menyampaikan pernyataan tegas di depan media. “Anak saya tidak bisa kembali. Tapi kami tidak ingin pelaku hanya diberi hukuman ringan. Kami menuntut hukuman mati karena kejahatan ini sangat keji dan tidak manusiawi,” ucapnya dengan suara bergetar.

Masyarakat juga ramai menyuarakan dukungan melalui media sosial. Tagar seperti #KeadilanUntukJuwita dan #HukumMatiJumran sempat menjadi trending topic di berbagai platform, mencerminkan kemarahan publik atas kasus ini.

Proses Hukum di Pengadilan Militer

Sebagai anggota aktif TNI, Jumran menjalani proses hukum melalui sistem peradilan militer. Hal ini kerap menimbulkan kekhawatiran di masyarakat bahwa prosesnya tidak transparan atau tidak seketat pengadilan sipil. Namun, pihak Oditurat Militer memastikan bahwa kasus ini akan ditangani secara profesional, adil, dan tanpa intervensi.

Letkol Laut (KH) Andi Prasetya, selaku Oditur Militer, mengatakan, “Kami menjamin proses hukum akan berjalan sesuai aturan. Tidak ada toleransi bagi pelanggaran berat seperti ini, apalagi melibatkan kekerasan terhadap warga sipil.”

Jaksa penuntut juga menyampaikan bahwa dakwaan yang dijatuhkan terhadap Jumran adalah Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman maksimal yaitu pidana mati.

Sorotan Terhadap Kekerasan oleh Aparat

Kasus ini membuka kembali diskusi luas mengenai perlindungan warga sipil dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat. LSM dan pemerhati hukum menilai perlu ada reformasi serius dalam sistem pendidikan dan pengawasan internal militer agar kasus serupa tidak terulang.

“Ini bukan hanya tentang satu korban, tapi tentang sistem yang memungkinkan kekerasan itu terjadi. Kita perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan memberikan ruang bagi publik untuk mengawasi proses hukum militer,” ujar Direktur LBH Makassar.

Penutup

Tragedi yang menimpa Juwita bukan sekadar kasus pembunuhan biasa. Ini adalah simbol dari betapa pentingnya keadilan ditegakkan, tanpa pandang bulu. Desakan keluarga untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Jumran bukan semata balas dendam, melainkan bentuk protes terhadap ketidakadilan dan harapan agar tragedi serupa tidak terulang.

Masyarakat kini menanti, apakah pengadilan militer akan mampu menghadirkan keadilan sejati, atau justru menambah panjang daftar korban ketidakadilan di negeri ini.

Similar Posts