Sejak tahun 2018, perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina menjadi sorotan dunia. Ketegangan dimulai saat pemerintahan Donald Trump menaikkan tarif terhadap berbagai produk Cina, yang kemudian dibalas oleh Beijing dengan langkah serupa. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki neraca perdagangan dan menekan dominasi teknologi Cina.
Namun, meskipun terlihat agresif dan penuh strategi, banyak pihak kini menilai bahwa perang dagang ini menghasilkan peluang yang justru hampa—baik secara ekonomi maupun geopolitik. Pertanyaannya: apakah strategi ini benar-benar berhasil?
Tarif Tinggi, Tapi Keuntungan Rendah
Awalnya, AS berharap tarif impor akan mendorong perusahaan untuk kembali memproduksi di dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Di sisi lain, Cina menargetkan diversifikasi pasar agar tak bergantung pada ekspor ke AS.
Namun, kenyataannya tak semanis rencana. Banyak perusahaan justru memindahkan produksinya ke negara ketiga seperti Vietnam atau Meksiko, bukan kembali ke Amerika. Sementara itu, biaya produksi meningkat, harga barang naik, dan konsumen Amerika harus membayar lebih mahal.
Dengan kata lain, tarif tinggi tidak secara langsung memulihkan industri manufaktur dalam negeri seperti yang diharapkan.
Perdagangan Global dalam Ketidakpastian
Tak hanya berdampak pada dua raksasa ekonomi dunia, perang dagang ini juga memicu ketidakpastian global. Negara-negara berkembang yang sebelumnya mendapat manfaat dari perdagangan terbuka kini harus menyesuaikan kebijakan ekonomi mereka.
Investasi asing menurun, sementara rantai pasok global terganggu. Akibatnya, berbagai industri mengalami penurunan produktivitas dan keterlambatan distribusi barang.
Bahkan setelah bergantinya pemerintahan di AS, ketegangan dagang masih berlanjut, meskipun dalam bentuk yang lebih halus dan strategis.
Dominasi Teknologi: Masih Jadi Titik Panas
Di balik tarif dan angka perdagangan, isu dominasi teknologi menjadi inti utama konflik ini. AS khawatir dengan perkembangan cepat perusahaan teknologi Cina seperti Huawei dan TikTok. Larangan dan pembatasan diberlakukan untuk menjaga keamanan data dan dominasi pasar teknologi global.
Namun demikian, langkah-langkah ini juga menghadapi tantangan. Cina mempercepat pengembangan teknologi mandiri dan memperluas aliansi strategis dengan negara-negara lain.
Artinya, bukannya menghambat, tekanan dari AS justru mendorong Cina menjadi lebih mandiri dan agresif dalam inovasi.
Kesimpulan: Banyak Strategi, Minim Solusi
Walau penuh manuver politik dan ekonomi, perang dagang AS-Cina belum menunjukkan hasil yang sepadan dengan dampak globalnya. Industri dalam negeri AS belum pulih secara signifikan, sementara hubungan dagang internasional menjadi lebih tegang.
Sebaliknya, Cina tampak semakin tangguh dalam menghadapi tekanan. Maka, peluang dari perang dagang ini—baik bagi AS maupun dunia—bisa dikatakan masih hampa, jika tidak dikelola dengan pendekatan kolaboratif di masa depan.