Dalam berbagai pernyataan, Presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk menghapus sistem kuota impor. Menurutnya, kuota impor sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk meraup untung pribadi dan menciptakan praktik rente ekonomi. Ia ingin menggantinya dengan mekanisme yang lebih transparan dan efisien. Meski terdengar ideal, langkah ini menyimpan sejumlah risiko ekonomi dan politik yang patut diperhitungkan secara matang.
Risiko Ekonomi: Petani dan Industri Lokal Bisa Terjepit
Salah satu dampak paling nyata dari penghapusan kuota impor adalah meningkatnya ancaman terhadap sektor pertanian dan industri lokal. Tanpa pembatasan kuota, barang impor bisa masuk dalam jumlah besar dan lebih murah karena produksi di luar negeri sering kali disubsidi oleh pemerintah mereka.
Sebagai contoh, produk pertanian seperti beras, bawang, atau gula dari luar negeri bisa membanjiri pasar dalam negeri. Akibatnya, harga hasil tani lokal bisa anjlok drastis. Petani yang sudah bekerja keras akan merasa tidak dihargai, dan sektor pertanian sebagai tulang punggung pangan nasional bisa terguncang.
Transisi ke Sistem Tarif: Solusi atau Sumber Masalah Baru?
Prabowo berencana mengganti kuota dengan tarif impor. Artinya, produk impor tetap bisa masuk, namun dikenai bea masuk sesuai jenis dan volumenya. Secara teori, ini bisa meningkatkan penerimaan negara dan menjaga daya saing produk lokal.
Namun, tanpa regulasi yang ketat dan kemampuan pengawasan yang mumpuni, sistem tarif justru bisa menjadi celah baru bagi praktik korupsi. Selain itu, pelaku usaha juga bisa mengalami kebingungan dalam masa transisi jika kebijakan tidak disosialisasikan dengan baik.
Risiko Politik: Tekanan dari Kelompok Tertentu Tak Terelakkan
Langkah ini juga bisa menimbulkan gejolak politik. Petani, nelayan, dan pelaku UMKM yang merasa terancam akan bersatu untuk menolak kebijakan tersebut. Jika pemerintah tidak responsif terhadap keluhan mereka, hal ini bisa berujung pada protes sosial dan melemahnya dukungan terhadap Prabowo.
Di sisi lain, aktor-aktor bisnis besar yang selama ini diuntungkan oleh sistem kuota bisa melakukan lobi politik untuk mempertahankan status quo atau mendapatkan akses eksklusif dalam sistem baru.
Kesimpulan: Perlu Kajian Mendalam dan Pendekatan Bertahap
Menghapus kuota impor memang bisa menjadi langkah berani untuk membenahi tata niaga dan menghilangkan praktik rente. Namun, Prabowo perlu menyadari bahwa kebijakan ini juga membawa risiko besar jika tidak diiringi kajian yang komprehensif dan pelaksanaan yang hati-hati.
Pemerintah harus menjamin bahwa kebijakan ini tidak menjadi bumerang yang justru merugikan produsen lokal dan memicu konflik sosial. Oleh karena itu, transparansi, komunikasi publik, dan perlindungan terhadap sektor strategis harus menjadi bagian dari strategi besar penghapusan kuota impor.